KARANGASEM
memasuki kotamu,
dibatasi pintu tua
legam bergayut lumut
dengus lembu putih menetaskan rupa
sketsa kancil liar berkaki matahari
disinilah para perempuan menari
dalam tembikar penuh jeram dan bara api
ditaut gemuruh ombak dari angin pesisir
lekat dalam pandang, setiap orang menghampiri
ku lukiskan cinta sejati
dalam kotamu penuh dipagari patung purba
senantiasa tercipta diluar ritus pertemuan
kama dan wulan dari pura lempuyang.
di tengah kotamu,
rumah cendana berukir tiang menjulang
berserakan pernik manik warna permata
tempatmu menetaskan para penari
dari sarang jeram cahaya pintu puri
serta abdi yang menawarkan kemenangan
meski pun akan masuk ke dalam lipatan gelap
oleh nganga luka yang dilecut pecut sendiri
pucat menguliti memar di ubun ubun
kulukiskan cinta sejati
diantara keningmu bersinar bianglala
meretas semesta dalam peradaban sunyi
semestinya kau datang melewati pintu puri
bersenandung smaradahana dan kasih bumi
dari pesisir kotamu,
berkejaran bagai gemuruh perang pandan
duri menusuk tulang belulang ruah darah
daun suci dalam genggaman hanyalah
pedang yang meminang kesetiaan
siapa pun bisa mengerti, ini upacara manusia
bukan dari saji lembu putih berkepala kancil
mengusir neraka, para penari letih menggigil
kulukiskan cinta sejati,
di mata kakimu, membuncah mata air
gelembung putih mengendap di pintu puri
yang terkunci dari kata para ningrat
meninggalkan kotamu
kutemukan sisa arca menjulang, berserakan
terpenggal kepalanya, ia tak sudi menangisi nasib
ia bertanya; adakah bidadari menari dibalik mega?
karena dendam telah ditebus harum dupa
dan keserakahan lumat dapat persembahan
tuak dan arak, nasi kuning rupa manusia
akhirnya bertemu juga dalam impian
menuju surga, meraih pucak lempuyang
kulukiskan cinta sejati
anak gadis berlutut memuja cahaya
hentikan berperang, katanya tanpa sadar
karena cinta tak pernah membaca darah
tirtagangga, 1996
PRASASTI DENPASAR
bayangkan dirimu menggembala angin
selepas menggelar tarian salsa di awan
bila angkasa bercahya warna lembayung
aku akan menyunting bunga alamanda
agar lebur dengan biji beras
yang melekat menanda puja
di pusaran keningmu
bayangkan dirimu menuntun matahari
di mana awan ‘kan menjelma sebait puisi
kata dari perputaran cakra yang terhenti
aku ingin menyulam keheningan katahati
jikalau waktu masih tersisa
akan kutulis sajak terakhir
sekalipun tak pernah terbaca
( karena setiap orang yang pernah melewati
pintu puri tak sudi memetik jejak penari dan
tutur para pujangga penunggu kahyangan )
arca itu serupa lingga pemancang ke bumi
tegak menjulang di titik 0 tanah denpasar
basah dengan darah berlumur tetesan peluh
aku sadar, bila ini prasasti purba yang sakral
tercipta dari silang sengketa api dan air
mendidih, lalu membeku di puncak lingga
melepaskan gugusan lumut pucat menepi
sembilan penari tua melingkar ke kanan
mengais sisa sabda yang terpapar di altar
karena mereka tak menemukan jalan moksha
di masa silam menjelang pertempuran usai
lalu, siapa dipuja menjadi pemenang perang?
bila isyarat yang ditatah di balik busana arca
hanya sebilah tombak yang retak tak berukir
bayangkan dirimu menambat getar hasrat
berlayar ke gua sukma menyatukan raga
aku menangkap cahaya putih bidadari
bergerak perlahan menuju titik paling sunyi
sinar denpasar dalam selasar
penuh bunga warna pelangi
setia menakar seberkas mimpi
( biarkan, angin menderas megirimkan bau
wangi bagi pertapa di kelopak awan agar
mereka iklas memasuki pintu permenungan)
2012
ANJANGSANA KE NEGERI TAKDIR
jalan yang melintang selurus angin
dipagari bambu kuning disulur cahaya
akhir dan juga muasal, mulailah dengan doa
kembali di tangga dasar jejak dari pendakian
hasratku ke negeri mimpi biara para urban
siapa tersandung batu kali, diantara cahaya?
membuat langkahku tertahan bayangan sendiri
karena jiwaku berada dalam ranah tak biasa
karena ragaku bercakap dalam keterasingan
karena semua, tak memaknai bening nurani
kosong!
tak jelas gelegar halilintar mengukir langit semesta
atau burung kedasih menuntun jiwaku menyebrang
pada anak tangga dimana mataair menetaskan cinta
bagi bumi dan manusia, jangan lewatkan kahyangan
disini kerajaan kegeri takdir, suara parau terdengar
dari mulut arca kelapa gading berikat benang tridatu
dilingkari pusaka perang terhunus tajam bertuah
lalu dipuja sesaji melewati pujian sambang semadi
aku meraih mahligai kesejahteraan jagadraya
ripah di negeri takdir, ladangku menanam nasib
kosong!
makin ke dalam ruang yang kujamah melebihi sunyi
belum juga kutemukan sosok pertapa yang kucari
atau suara seruling mengiringi tarian bidadari
padahal aku telah melangkah ditangga terakhir
/1/
sahabatku, suklu;
membayang dari negeri anomali
di riak air telaga sepenuh mekar padma
cerlang dalam binar cahaya yang niscaya
bagai meretas sukma dalam gema mantra
dan yoga mengalir membakar tubuhmu
dalam batas yang tak jelas
hanya gambar serupa serangga bertarung
menahan bumi dari gerak yang menyentak
dari guncangan gaib menyayat langit
menjamah purnama selagi tergenang di hati
di mana laut biru tak mengenal cakrawala
; kau pun pulang, sebelum menara tumbang
oleh pialang yang menjarah rumahmu, membakar
setiap langkahmu menapak, tahta di negeri takdir
sulur bambu berjabat saling mencium buku
silang bercakap tentang tubuh para penari
menyulang mimpi di balik cahaya yang niscaya
kau pun pulang sebelum menara tumbang
/2/
sesaat kemudian, tangan wayan wirawan
membentang helai kelir putih sepenuh awan
menguliti rahasia selang-selang derai air
dari pohon kehidupan mahligai penuh Lumpur
tapi wajahnya yang tersunting di putik padma
justru terlepas dari riak percik bau Lumpur
demikian mestinya riwayat karya tercipta
dari percakapan sunhyi di bathin
/3/
wayan sudarnaputra;
menggigil di puncak jelajah liar matahari
lepaskan kuda itu, setelah usai meringkik
melihat wajahnya terkutuk di riak telaga
seekor yang bertungkai putih menerjang
menyuntingkan birahi di tangga air
kosong!
karena hidup hanyalah titah kesangsian
katakan cinta, sebelum maut menjemput
merebut segala riang dalam genggaman
just simple, jalan ruh menuju kemuliaan
dalam catatan purba adinda, suanda sayur
;semua pun pulang, diiringi sebait tembang
setelah usai memetik kenangan pada setiap
persimpangan di taman harapan negeri takdir
denpasar 2006
PERJAMUAN ANAK LEAK
Perjamuan di antara pohon permata
liurmu, mengalirkan kecemasan di nadi
karena buih menggenangi telaga darah
aneh, bila sepotong nyala api menari
pecah dilipatan terarai biru telaga madu
dan angin yang menjalar mengantar khabar
kaupun tersenyum memaknai rahasia kata
biarkan saja senyap sesaat, di susul lolong
suara anjing warna warni dari balik cahaya
‘ntah anak leak merintih menangis,
mengharap sepotong roti bakar di atas
nasi lima warna ditabur kembang cempaka’
pulanglah, ke negeri takdir jiwamu
menyala mengitari remang rembulan
bersama kumandang mantra para pawing
kau berhenti di sukma, membaca catatan lahir
dan titah yang diwariskan matahari
sepatah kata dibisikkan di tengah percakapan
selalu saja digenangi luka segala kesangsian
tentang mangsa demi mangsa, dari hari ke hari
hujamkan nestapa, dimana saja kau menyapa
dari api kesadaran kau lahir berwaj;ah garuda putih
memenuhi rasa, mari kembali ke titik air telaga madu’
Karangasem 1996-2006
ZIARAH RAHIM
bagi; ibu
menjemputmu
dengan warna cahaya
menuju selasar sunyi
liang rahim pintu bumi
hulu muasal sungai darah
menjelma selaksa manusia
perempuan baya berpagar angin
menari sendiri diatas persembahan
jelaga api dari rahim kehidupan
nestapa para pertapa di rumah sunyi
hening, heninglah hari ini
hingga surya tenggelam
di perbatasan perut bumi
mengenangmu
lukiskan birahi bening bidadari
riang di surga memintal bunga
ini ziarah rahim, kata para dewa
setelah lepas dari kesangsian
hening, heninglah hari ini
hingga surya tenggelam
dalam lakon ibu manusia
ibu semesta dan ibu pertiwi
karangasem, 2006
MALAM DI TANGGA TERAKHIR
bersaksi,
di persimpangan batas malam
dalam pendar cahaya rembulan
dan ritus perjamuan para penari
yang melingkar ke titik api
yala selaksa lilin, berjuta dupa
jiwaku, lebur diantara sisa sang waktu
ragaku, lepuh dalam semangat pengabdian
mengantar sukma, mengalirkan kesadaran
menuju tahta terakhir rahasia mimpi
izinkan aku, memasuki pintu bumi
cahaya kualitas yang dijaga para dewa
hanya dengan keiklasan sepenuh kembang
(aku pelayan, berlayar ke pantai terakhir menambatkan
segala cita mengulurkan ragam layanan sebening
bayang bulan di pusaran telaga madu)
izinkan aku, menyulang peradaban
karena semua telah lahir diatas kata
ntah apa lagi, kecuali memberimu cinta
mula bagi segala muasal janji semesta
telah kusebrangi semuanya dengan rasa
sejauh rintang menghadang tetap ‘kan berlabuh
disini, di rumah cahaya layanan dunia
kemilau kerlip dian lilin-lilin kecil
dalam lentera jiwa keberhasilan
dengan kualitas secerah matahari
hinggap di puncak pengabdian
tangga terakhir gerai pendakian
di rumah cahaya, di surau para nabi
PENYEBRANGAN TANPA KATA
(sanur km 10 – 2009)
penyebrangan ini
kandas menjauh mengayuh arah
dihalau riap cahaya warna pelangi
dan mendung menggugurkan angin
melumatkan layar perahu harapan
aku merindukan sebaris kata-kata
segera menyapa palka yang patah
aku mendambakan makna doa-doa
untuk menahan hingar gelombang
aku memintal sejengkal serat temali
buat mengikat jiwaku yang meruntuh
; dari azimat leluhur
penyebrangan ini
karam menjauh tanpa gurau nada
terperangkap di pelabuhan rahasia
tanpa isyarat langit aku telah terdampar
di tanjung nusa pertemuan batu karang
di mana cerita akan berakhir
aku merindukan bisikan gaib
sebaris kata-kata pemupus cemas
aku berharap hembusan bau dupa
sampai di surau sunyi para pertapa
aku meminang getar-getar kesadaran
mengantar jiwa ke puncak keabadian
; seperti titah leluhur
2011
REKONSTRUKSI LA TAVERNA
buih putih menjalar dari lidah gelombang
seperti gelinjang ular memantik riak pesisir
meresap di sela terumbu purba lalu lenyap
di lipatan ombak ikan-ikan jingga bercanda
siang dipelukan pantai sindhu
sepasang turis gelisah terpanggang matahari
saling menadah hasrat, ntah mereka mabuk
terseret permainan kamasutra sastramaya
dalam pertemuan tetes asmara kepalang liar
berdekap sejiwa, bertandang ke hutan pasir
cinta menguliti fatamorgana
sejauh satu mil pandangan ke batas langit
lihatlah sekoci putih menarikan arah angin
sepasang bocah saling menyuling nyanyian
di lengan perempuan itu bertatto rajawali
dan gambar kepala naga di atas titik pusar
sungguh hendak meruat jiwa
aku menunggu hidangan siang udang karang
yang tersaji dari tangan dayang-dayang
diramu beragam biji rempah dari dasar laut
lengkap dengan air madu aroma kenduri
jadikanlah persembahan bagi anak pesisir
tapi;
( ini fragmen tak biasa, segala penantian yang
menjemukan karena mereka terlena dalam situs
terasing rekonstruksi mimpi di teratap la taverna )
aku memanggil bayanganku dekat pesisir
sebelum martil terlontar menampar ombak
muncrat menerjang, jelaga api tanpa ilusinasi
terdengar samar jerit dayang-dayang menangis
kehilangan rasa cinta dari peluh sepasang turis
siang dipelukan pantai sindhu
2012
RUPA TAK BERNYAWA
; Granoka
karena isyarat mata angin
sembilan penari akan memutar ke kanan
meminang jejak bidadari turut memuja
di pusat perapian padma kembar
ntah bagaimana mantra merakit cahaya
di celah kening sepasang roh tak berwarna
berikat benang kafan penuh rajah kaligrafi
dalam rupa tak bernyawa
tepat menjelang parak siang
aku terpana memintal setetes aksara
melingkar dari pusat olah pikiranmu
memancarkan makna semesta
sintesa dari air, api dan tanah berpasir
selebihnya akan menjelma mandala
karena gerah matahari
dayang-dayang mengantar minuman suci
agar aksara tak silau menjaring suara genta
dan kaupun disambut penari terakhir
serupa rasi di antara persilangan bintang
niatmu melampaui malam dengan telanjang
riuh menuju penyatuan rasa yang tak biasa
dalam rupa tak bernyawa
TIANG RAHASIA
permenungan di Taman Ujung
tegap seperti pelepah tombak
tiang tua menjulang ke langit
dasarnya ditatah singa bersayap emas
menggenggam buah dendam katahati
; delapan hasta kemudian
seuntai bunga padma menjilat atap langit
mencumbu riak gelombang bunga setaman
bersandarlah gadis manis titian peri
letakkan ujung rambutmu di ketiak singa
agar liar di keningmu menjelma santun
sebelum kata memanah dengan cahaya
lalu melukiskan jiwamu dalam warna maya
seratus langkah lagi, tiba di bale kambang
tempat para raja digjaya mengebiri cinta
menguliti siksa birahi perempan desa
tertindih cemeti buas paduka raja
; kadangkala lautan nafsu
ditasbihkan di kening demi keadilan yang
terbiaskan dari tirani kekuasaan abadi
noda di tepi ranjang berenda bayang bulan
ternoda tetes darah perawan yang membeku
dari kebekuan nurani peristiwa masa silam
siapa memilih, ini muara kemuliaan harga diri?
; padahal di sebuah sudut yang lain
terpajang tutur dalam makna paling suci, ntah
hanya menutup senyum dari geriap bulan mati
SEPOTONG ARCA DI TENGAH TELAGA
seonggok kepala bima terkapar di telaga
matanya nanar mengusir ikan di pusaran mata air
walai tak sejalang saat pulang dari altar perang
karena kekuatan terbalut di lumut purba
sepotong patung semar melupakan lengannya yang terbelah
ususnya menjelma sejuta ular belang menghuni hulu telaga
membelit mahkota raja di mana air menetes dari celah batu
mengalir sepenuh jiwaraga hingga ke permandian terakhir
inikah kuruksetra?
di mana para ksatria merumuskan makna kebenaran!
dengan setumpuk panah dan serangkai upacara darah
senjakala mereka pulang bersama dengan tarian api
merayakan rasa dalam kemenangan yang tak penting
inikah kuruksetra?
sepotong arca di tengah telaga, bingung tak menjawab
2010
MUSEUM GIDANG
perupa; Yung Jung Sun
seogwipo
kota ini penuh pesta kembang api
sesak dilumat deru musik kaki lima
aku mencari sekotak kemiri goreng
sebelum beranjak ke bilangan terakhir
tangga liar museum gidang perupa tua
……. Byun Shi Ji
memasuki altar segitiga di garda depan
aku disapa salju memeluk jenjang pilar
dingin rasanya, cuaca menjelang hujan
tapi setiap mata selalu liar, memandang
lukisan berbingkai emas luruh menaut
menguliti sisa nestapa nurani semesta
kau tiba menatih jejakmu di buku putih
segurat catatan jejak rekam penciptaan
asamu yang terhujamkan bersilang kata
akan kuikat menjadi cerita tanpa mimpi
dan kau ‘kan menjelma berpagar melati
terpahat dalam rupa penyaksi penantian
seogwipo
gegap gemerlap bergelimang canda tawa
liar berombak bagai api dijemput angin
aku mendengar alun seruling tarian air
terikat di antara jendela museum Gidang
di lipatan rak purba perujangan perupa.
……. Byun Shi Ji
sayang, jikalau atraksi para urban tepi kota
yang melompat dari trotoar ke hilir museum
dibiarkan sendiri merajah sisa senja matahari
aku mengurai warna jingga bertekstur batu
terhempas di antara sulur bianglala pulau Jeju
di mana tiga moyangmu saling berebut putri
ada kalanya menjelang permainan usai
para penari berbagi secangkir sari ginseng
saling memanah senyum tak’kan pernah ingkar
aku tertunduk memanjatkan arti pertemuan ini
dalam kesetiaan rupa penyaksi penantian
……. Byun Shi Ji
PERNIKAHAN KATA
[ arthawa ]kata yang selalu kau hadirkan
lewat gerak tubuh yang ringan
melayang memintal jejak angin
melompat di balik lipatan pasir
// terkadang kau selipkan puja mantra
dalam petikan bathin yang cemas
aku mengerti sebait puisi tercipta
karena penyatuan kata yang ingkar
seperti pertarungan semesta
melingkar mengampiri mata sukma
saling menyerang silih berganti
di lain waktu, aku ingin kau menjelma
tarian api menjemput tanah leluhur
atau sejurus gerak silat yang mengunci
kemuliaan perahu samsara
// aku titipkan dupa dan bunga dan
setetes air penebus lara agar bidadari
menyertai tarianmu
selepas pagi, kau nikahkan selaksa kata
dalam cakra tubuhmu yang terhempas
dalam warna yang menjauh….terlepas
menuju rumah puisimu